Kenapa masa depan menyimpan misteri, karena disanalah kita belajar merencanakan, berikhtiar, berharap, cemas dan ujungnya KehendakNya lah yang menentukan

Minggu, 13 April 2014

Bismillah, Membuat Rumah untuk Alex-Alex Kecil di Tahun 2019

Kutemukan sebuah artikel dari blog seseorang. Sebenarnya, dari awal aku memang sudah berniat mencari bacaan tentang anak yatim karena aku sudah berikrar pada diriku sendiri bahwa setelah menikah nanti aku akan menanggung biaya hidup anak yatim sebagai ucapan syukurku atas karunia yang telah Allah berikan. Yah, meskipun dulu hidupku juga penuh beban.

Kalau boleh jujur, bahkan sampai sekarangpun aku belum bisa merasakan apa yang namanya "konglomerat". Membeli ini-itu semaunya, pegi kemana saja sesukanya. Namun aku tak mau Allah menyebutku kufur nikmat. Kusyukuri segala yang telah Allah berikan padaku, kunikmati proses perjalanan hidupku dan Alhamdulillah, meskipun istilah "konglomerat" itu belum berhasil kusandang, setidaknya hidupku jauh lebih baik dari sebelumnya. Dan kini aku ingin berbagi tentang kisah inspiratif itu.

Inilah kisah inspirasional yang sungguh mengharukan dan menggetarkan hati. Betapa polos dan lugunya hati seorang bocah yang bisa menerima semuanya apa adanya. Tak ada keluh kesah dan kerendahan diri.  Yang ada hanyalah ketabahan, kesederhanaan, dan kenaifan yang terbungkus dalam kepolosan hatinya.

---000---
Aku menatap bocah enam tahun yang berdiri di depanku. Tubuhnya penuh dengan daki. Aroma tak sedap merasuki penciumanku. Entah sudah berapa lama tubuhnya yang mungil tak bersentuhan dengan air dan sabun mandi.

Bola matanya yang indah memancarkan sebuah semangat. Astaga! Senyumannya manis sekali ketika dia tersenyum padaku. Sepasang lesung pipi menghiasi wajahnya. Laksana pelangi yang menghiasai langit hujan.

“Nama kamu siapa?” tanyaku sambil membalas senyumnya.
“Alexander,” jawabnya sambil tangannya memainkan ujung bajunya yang memiliki banyak tambalan.
“Alex, datang dengan siapa ke sini?”
Diam. Tak ada jawaban. Pandangannya menyapu lantai kelas yang kosong. Masih belum ada murid yang datang. Biasanya kalau hujan seperti ini murid-murid datangnya suka agak telat.
Ada sebutir air mata yang mendadak jatuh membasahi pipinya. Aku menjadi bingung dengan reaksinya atas pertanyanku.

“Alex, datang sendiri ya?” tanyaku sambil menggengam tangannya yang dingin.
“Emang kalau ngga ada mama sama papa ngga boleh sekolah di sini ya, kak?” jawabnya pelan.
Jawaban Alex menusuk hatiku.

“Siapa pun bisa belajar di sini. Termasuk kamu,” jawabku lalu mengelus-ngelus kepalanya dengan lembut.
“Alex ngga punya papa dan mama. Papa dan mama Alex sudah meninggal. Alex hanya tinggal dengan nenek.”
Aku memperhatikan kantong plastik tua yang dibawanya. Merasa, aku penasaran dengan isi kantong plastik tersebut. Alex langsung mengeluarkan isinya.
Ya Tuhan! Aku mencoba membendung air mataku tidak jatuh.
Miris. Sesak. Sedih dan terharu menyatu di dalam dadaku melihat isi kantong plastik yang di bawanya.
Dengan bangganya dia memperlihatkanku, beberapa lembar kalender usang yang telah dipotong empat lalu di lobangi dan diikat dengan tali dijadikan buku. Sebuah pensil yang sepertinya sudah di serut dengan pisau.

“Buku Alex, jelek ya kak?” Aku langsung memeluknya.
Suaraku sepertinya tertahan di tenggorokanku. Aku tak mampu mengatakan apa pun. Air mataku pun berhasil jatuh. Aku mengagumi semangatnya yang ingin belajar. Sebuah semangat yang luar biasa di antara keterbatasan yang dimilikinya.
Sewaktu aku kecil, aku sering merobek bukuku hanya untuk membuat pesawat kertas atau perahu. Ketika aku duduk di bangku SMP dan SMA, bukuku sering penuh dengan coretan yang tidak jelas.

*****
Selesai kelas dan anak-anak lainnya sudah pulang semua. Aku menggantar Alex pulang. Bukan karena dia tidak bisa pulang sendiri. Tapi aku ingin melihat di mana dia tinggal.
“Kakak, ini rumah Alex!” ucapnya dengan penuh kebanggan. Tak ada sedikit pun rasa malu.
Ini bukan rumah apa lagi gubuk.

Aku memperhatikan hamparan tikar tua yang menjadi alas. Sekat setinggi lutut orang dewasa mengelilingi rumah Alex. Tidak ada dinding sama sekali apa lagi atap. Jalan tol megah menjadi atapnya. Tumpukan kardus menjadi perabot rumah tersebut. Halamannya penuh dengan tumpukan gelas dan botol bekas air mineral.

“Masuk, kak! Nenek lagi ngga ada. Masih mulung!”
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya. Aku masuk lalu menghempaskan tubuhku ke lantai.
“Kak, ini airnya diminum ya,” ucap Alex lalu menyerahkan segelas air putih.
Aku meraih gelas yang penuh dengan air putih tersebut lalu meminumnya. Terasa aneh di lidahku. Sepertinya itu adalah air sumur yang telah di rebus.

*****
Dalam kurun dua minggu Alex sudah bisa mengenal semua abjad dan angka. Prestasi yang tidak dapat diikuti oleh teman-teman sekelasnya yang lain.
“Wow! Alex hebat! Sudah bisa mengenal semua huruf,” pujiku setelah kelas selesai.
Dengan malu-malu dia tersenyum padaku. Detik berikutnya, dia mencari sesuatu di dalam tas yang pernah aku berikan padanya.
“Alex, mau bisa membaca kitab suci seperti mama dan papa dulu. Makanya Alex mau belajar.”
Wajahku rasanya seperti tertampar. “Maafkan aku, Tuhan. Pagi ini aku telah melupakanMu. Aku tidak membaca sabda suciMu,” Bisikku dalam hati.

*****

Wajahku memancarkan kegelisahan. Entah kenapa, aku merasa kuatir ketika Alex belum juga datang. Tidak seperti biasanya, jam segini dia sudah datang. Selalu dia menjadi murid yang pertama kali hadir di kelas. Lima menit lagi kelas akan di mulai.
Hingga waktu jam proses belajar mengajar, Alex tidak datang.
“Sakitkah dia?” tanyaku dallam hati.

Tak ada satu pun yang tahu alasan Alex tidak hadir hari ini di kelas.
Selesai kelas, aku langsung bergegas menuju ke tempat tinggalnya. Sebelum sampai ke rumah Alex, seorang ibu menyapaku.

“Cari Alex ya, kak?”
Aku menganggukan kepala sambil menjawab “Iya, bu!”
“Alex di rumah sakit, kak! Semalam Alex …….”
Sungguh, aku tidak mampu mendengar penjelasan ibu tersebut. Seragam dan perlengkapan sekolah yang aku pegang untuk Alex rasanya ingin lepas dari tanganku.
*****
Rasanya langit seperti runtuh dan menimpaku ketika melihat keadaan Alex. Tangan kanannya penuh dengan perban. Alex kecelakaan ketika membantu neneknya memulung dan tangan kanannya terlindas ban truk sehingga dia harus diamputasi. Dengan bekal pinjaman sana-sini dan bantuan tetangga serta pengguna jalan raya yang menyaksikan peristiwa tersebut, akhirnya Alex di bawa ke rumah sakit.

Kantong plastik yang berisi seragam sekolah, tas dan perlengkapan sekolah terlepas dari tanganku. Masih terngiang dikepalaku percakapan kami kemaren.

“Kak, Alex mau masuk SD tapi kata nenek, uangnya belum cukup. Katanya baju seragam sekolah mahal.
Tapi Alex percaya kalau Tuhan pasti akan kasih nenek duit biar Alex bisa sekolah.”
“Alex, pasti sekolah. Percayalah!”
Tangan kanannya yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang masih terpasang ditubuhnya.

Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Alex?”
Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan Alex sakit sekali. Tangan Alex kenapa dipotong? Kan Alex mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis didepan Alex.

“Alex pasti sembuh!” kataku mencoba menghiburnya.
“Kalo Alex sembuh itu artinya tangan Alex tumbuh lagi ya, kak?”
Nenek Alex yang berdiri dibelakangku memegang erat pundakku. Hanya Tuhan yang tau betapa perihnya hati ini melihat keadaan Alex.

“Iya, Alex lupa. Alex bisa menulis pakai tangan kiri. Kalau Tuhan ngga kasih mujizat untuk numbuhin tangan kanan Alex, tuhan pasti kasih mujizat buat Alex untuk menulis dengan tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku juga merasakan tetesan air mata nenek Alex jatuh membasahi bahuku. Aku ngga bisa membayangkan kalau aku mengalami apa yang dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda dengan Alex. Dia tetap optimis meski dia sendiri tidak tahu arti optimis itu apa.

---THE END---

Dan kini Allah, aku ingin berkontribusi bagi mereka. Aku ingin mengambil peran untuk meringankan beban mereka. Aku tidak ingin ada AlexAlex kecil lainnya. Dan Alhamdulillah terhitung bulan Maret 2014 kemarin, Engkau berikan aku kesempatan menyantuni mereka. Meskipun tidak banyak, aku berharap Engkau mengistiqomahkanku untuk menanggung mereka. Mungkin di tahun 2014 ini aku baru bisa menanggung 2 orang. Namun aku berharap, Engkau masih mau melirikku untuk meningkatkan kuantitasnya setiap tahun. Bismillah, Bahkan aku berazzam 5 tahun lagi (tahun 2019) aku bisa mendirikan rumah sederhana untuk mereka, mendidik mereka sebagaimana Engkau mendidikku, memberikan mereka pendidikan yang tinggi (minimal sarjana) sebagaimana Engkau memberikannya padaku. 13/04/2014 (Eka)

Senin, 07 April 2014

Surat Milad untuk Suamiku

Bismillahirrahmanirrahim
Teruntuk suamiku yang kucintai karena Allah, dan disini ana selalu berharap Allah juga mencintaimu karena kau mencintaiku karenaNya. Sebelumnya, happy milad ya mas. Semoga dengan bertambahanya umur semakin bertambah pula keberkahan pernikahan kita.  Afwan, saat ana belum bisa memberikan sesuatu yang “lebih”. Namun semoga bisa bermanfaat.

Subhanallah, jika ada hal hebat yang sekarang ini harus ana syukuri, hal itu adalah menikah dengan antum. Menjadi istri hebat dari seorang mujahid hebat. Jujur, dalam menulis surat ini iman ana sedang down, hati ana sedang gundah, pikiran ana sedang mencari arah. Bahkan, ana tidak tahu kalimat-kalimat apa yang bisa mengcounter perasaan ana. Perasaan yang tidak menentu karena jauh dari antum. Perasaan sakit yang tertahan dalam suatu keterpisahan. Perasaan yang ingin meluruhkan jarak dan waktu. Benar-benar ana ingin mencari pembenaran dari sebuah realita penderitaan.

“Afwan” kata yang sangat mudah terucap dari bibir ana, namun sejatinya sangat berat di hati ana – seberat antum menerimanya, mungkin. Lagi-lagi, ana bingung harus menjalani hidup seperti apa. Begitu sulit untuk menstabilkan kembali aktvitas. Aktivitas yang sebenarnya bersifat semu. Semu karena mengcover Eka yang sebenarnya menjadi Eka yang fatamorgana. Fatamorgana, benarlah. Dan itu merupakan istilah yang sangat tepat untuk menyatakannya. Eka yang selama ini tegar, kuat, cerdas, lincah, aktif terkalahkan oleh satu hal, yaitu jarak.

Kuatkan ana mas, dukung ana apapun yang ana pilih, berikan sandaran saat ana rapuh. Mungkin terlalu naif, saat ana sudah banyak menuntut antum namun ana sendiri belum mampu memberikan apa-apa. Berikan ana support untuk menjadi Eka yang sabelumnya. Eka yang tegar dan Eka yang gigih mencapai cita-cita. Ana janji mas, Inshaa Allah ana akan kembali dengan membawa suatu kebermanfaatan bagi agama dan masyarakat. Tentunya bagi keberlanjutan dakwah. Dan untuk keluarga peradaban yang selama ini kita cita-citakan. 

Best Regards
Your Beloved 

07/04/2014 (Eka)